Kultur masyarakat Gayo Lues
secara spesifik memiliki keunikan tersendiri. Orang Gayo Lues dikenal keras
juga tidak mudah berbaur dengan pendatang baru. Mereka bersikap skeptis
terhadap orang luar yang memiliki kebebasan. Paling tidak, itulah kesan awal
yang tergambar bila kita mengunjungi zona pertanian dan perkebunan di Gayo
Lues. Kondisi geografis alamnya pun terlihat sangat mawarnai sisi kehidupan
orang Gayo Lues dalam kesehariannya.
Etnis Gayo sesungguhnya memang
jauh berbeda dengan etnis lain yang ada di Aceh. Namun dalam penggolongannya
etnis Gayo memiliki pecahan mata rantai garis keturunan yaitu Gayo Lut (etnis
yang menghuni wilayah pegunungan di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di sekitar
Danau Laut Tawar). Gayo Deret (mendiami wilayah selain sekitar Danau Laut
Tawar, meliputi Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues, etnis yang mendiami
dataran tinggi ekosistem Leuser, namun ada pula yang membagi etnis di wilayah
Gayo Lues dengan sebutan Gayo Blang) dan Gayo Serbejadi (etnis Gayo yang
mendiami daratan kabupaten Aceh Timur). Karena letaknya berjauhan, maka ketiga
etnis Gayo ini secara turun temurun mengalami metamorphosis pada bahasa, adat
istiadat dan kebudayaan.
Penduduk Gayo Lues pada umumnya
menganut agama Islam. Nilai-nilai kehidupan keseharian masyarakat Gayo Lues
tetap berorientasi pada peraturan serta kaidah-kaidah Islam, termasuk
norma-norma yang terkandung didalamnya. Budaya yang luhur ini tetap terjaga dan
terpelihara hingga kini, bahkan kandungan nilai-nilai sakral didalamnya.
Simaklah ungkapan adat Gayo Lues
berikut ini:
1. Edet ikanung hukum, hukum ikanung agama.
Ungkapan ini
menggambarkan bahwa hukum adat berada dalam lingkungan hukum agama dan hukum
agama menjadi sumber hukum adat. Apalagi masyarakat etnis Gayo Lues
masyarakatnya masih homogeny, belum tersentuh budaya lain sehingga budaya dan
adat istiadatnya masih baku.
2. Adat urum hukum, lagu jet urum sifet.
Ungkapan tersebut
menggambarkan hubungan hukum adat dan hukum agama seperti sifat dengan zat
suatu benda, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
3. Edet kin peger, agama kin senuen.
Ungkapan di atas
menyiratkan bahwa norma-norma adat, ibarat pagar yang berfungsi sebagai penjaga
dan agama diibaratkan sebagai tanamannya. Sehingga dalam kehidupan masyarakat
setempat, adat istiadat budaya etnis Gayo Lues terpadu dengan agama yang
menjadi perilaku.
Sumber: Ahmad Syai, M. Sn., dkk.
2012. Bines Tradisi Berkesenian
Masyarakat Dataran Tinggi Gayo. Banda Aceh: Badan Pelestarian Nilai Budaya
Banda Aceh
ini baru sedikit informasi tentang masyarakat Gayo Lues. Perlu diperluas pembahasannya. Apakah generasi muda Gayo masih mencintai adat istiadat atau telah tergerus budaya milenial ?
BalasHapus