Jumat, 18 Maret 2016

KULTUR MASYARAKAT GAYO LUES

Kultur masyarakat Gayo Lues secara spesifik memiliki keunikan tersendiri. Orang Gayo Lues dikenal keras juga tidak mudah berbaur dengan pendatang baru. Mereka bersikap skeptis terhadap orang luar yang memiliki kebebasan. Paling tidak, itulah kesan awal yang tergambar bila kita mengunjungi zona pertanian dan perkebunan di Gayo Lues. Kondisi geografis alamnya pun terlihat sangat mawarnai sisi kehidupan orang Gayo Lues dalam kesehariannya.


Etnis Gayo sesungguhnya memang jauh berbeda dengan etnis lain yang ada di Aceh. Namun dalam penggolongannya etnis Gayo memiliki pecahan mata rantai garis keturunan yaitu Gayo Lut (etnis yang menghuni wilayah pegunungan di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di sekitar Danau Laut Tawar). Gayo Deret (mendiami wilayah selain sekitar Danau Laut Tawar, meliputi Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues, etnis yang mendiami dataran tinggi ekosistem Leuser, namun ada pula yang membagi etnis di wilayah Gayo Lues dengan sebutan Gayo Blang) dan Gayo Serbejadi (etnis Gayo yang mendiami daratan kabupaten Aceh Timur). Karena letaknya berjauhan, maka ketiga etnis Gayo ini secara turun temurun mengalami metamorphosis pada bahasa, adat istiadat dan kebudayaan.

Penduduk Gayo Lues pada umumnya menganut agama Islam. Nilai-nilai kehidupan keseharian masyarakat Gayo Lues tetap berorientasi pada peraturan serta kaidah-kaidah Islam, termasuk norma-norma yang terkandung didalamnya. Budaya yang luhur ini tetap terjaga dan terpelihara hingga kini, bahkan kandungan nilai-nilai sakral didalamnya.

Simaklah ungkapan adat Gayo Lues berikut ini:

1. Edet ikanung hukum, hukum ikanung agama.
Ungkapan ini menggambarkan bahwa hukum adat berada dalam lingkungan hukum agama dan hukum agama menjadi sumber hukum adat. Apalagi masyarakat etnis Gayo Lues masyarakatnya masih homogeny, belum tersentuh budaya lain sehingga budaya dan adat istiadatnya masih baku.

2. Adat urum hukum, lagu jet urum sifet.
Ungkapan tersebut menggambarkan hubungan hukum adat dan hukum agama seperti sifat dengan zat suatu benda, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

3. Edet kin peger, agama kin senuen.
Ungkapan di atas menyiratkan bahwa norma-norma adat, ibarat pagar yang berfungsi sebagai penjaga dan agama diibaratkan sebagai tanamannya. Sehingga dalam kehidupan masyarakat setempat, adat istiadat budaya etnis Gayo Lues terpadu dengan agama yang menjadi perilaku.

Sumber: Ahmad Syai, M. Sn., dkk. 2012. Bines Tradisi Berkesenian Masyarakat Dataran Tinggi Gayo. Banda Aceh: Badan Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh


1 komentar:

  1. ini baru sedikit informasi tentang masyarakat Gayo Lues. Perlu diperluas pembahasannya. Apakah generasi muda Gayo masih mencintai adat istiadat atau telah tergerus budaya milenial ?

    BalasHapus