Rabu, 30 Maret 2016

KOPI GAYO MASA KOLONIAL BELANDA DI DAERAH GAYO



Pada akhir abad ke-19 kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan penetrasi di bidang pertanian terjadi di kampung-kampung Gayo. Warga kampung yang biasa hidup dari pertanian tradisional di sawah maupun ladang mulai diperkenalkan dengan tanaman perkebunan modern. Perkebunan kopi di Gayo dibangun menjelang akhir abad ke-19 sebagai bagian dari proyek perkebunan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Sumatera Timur. Setidaknya sejak tahun 1910 Urang Gayo mulai mengenal komoditas perkebunan sawit dan karet yang juga diperkenalkan Belanda di Sumatera Timur, Aceh Utara dan Aceh Barat. Pada tahun 1926, pohon Pinus yang tumbuh di wilayah Gayo mulai digarap juga oleh Belanda disusul dengan pembukaan perkebunan teh pada tahun 1930 an. Industrialisasi di Gayo semakin meningkat dengan pembangunan Jalan Raya Takengon-Bireun pada tahun 1914.
Kopi yang ada di Gayo sering disebut sebagai Hidup dan Matinya Urang Gayo yang didalamnya banyak tersimpan aspek seperti nilai-nilai.sejarah, ilmu pengetahuan, sosial budaya, bahkan tersirat nilai harga diri Urang Gayo. Semua nilai-nilai yang tersimpan dalam kopi banyak yang telah diketahui secara umum namun masih banyak juga yang masih tersirat. Penggalian nilai-nilai yang ada dalam kopi akhir-akhir ini telah mulai dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai pihak.
Nilai-nilai sejarah, sosial, budaya bahkan tersirat nilai harga diri Urang Gayo, mulai digali dari berbagai aspek, mulai cerita turun temurun dari masyarakat Gayo sampai dengan berbagai literatur yang telah ditulis oleh banyak kalangan yang berkompeten dalam bidang penulisan sampai buku terjemahan yang diterjemahkan dari buku-buku berbahasa Belanda. Dalam buku C. Snouck Hurgronje, Gayo dan penduduknya dituliskan bahwa "sangat mengherankan di Tanah Gayo. Di mana-mana kita jumpai batang kopi. Dari mana asalnya kopi di Gayo seorang pun tidak ada yang tahu. Dan sepanjang ingatan mereka (Urang Gayo), tidak seorang pun yang mengaku pernah menanam kopi. Dahulu Urang Gayo menganggap tanaman ini adalah tanaman liar, orang mengambil batang dan cabangnya hanya untuk pagar kebun semata. Buah kopi yang masak dibiarkan begitu saja dimakan oleh burung, selanjutnya menurut mereka burung tersebutlah yang menyebarkan bibit tanaman kopi di Gayo".

Ada kutipan yang sangat menarik dari buku C. Snouck Hurgronnje, dalam buku tersebut dinyatakan bahwa Urang Gayo sendiri tidak tahu, bahwa kopi itu.bisa diolah menjadi minuman segar, yang mereka tahu hanya memanggang daunnya untuk dihadikan teh. Hanya pada akhir-akhir ini, sebagian orang sudah mengetahui bahwa buah kopi yang sudah dikupas dan dikeringkan hingga berwarna hijau bijinya bisa dikonsumsi dan menghasilkan uang, tentu saja dalam jumlah yang sedikit. Beberapa Are (bambu) di bawa ke Keude Susoh dan juga bagian utara Aceh.
Apa yang sudah dituliskan oleh Snouck dalam bukunya mengenai Gayo, sama dengan yang diungkapkan oleh beberapa Petue di Gayo seperti Syawaluddin, seorang warga kampung Bebesen, menyatakan bahwa penduduk Takengen sudah mengenal kopi lokal yang disebutnya "Kupi Kolak Ulung" (robusta) sebagai minuman. Daun kopi robusta ini dipanggang kemudian dicampur air panas dan diminum dengan gula yang terbuat dari aren (gule aren atau gule tampang). Pendapat serupa juga dikatakan oleh Abdullah Mongal, warga kampung Mongal yang oleh warga disapa dengan sebutan Gecik Tue Mongal. Abdullah Mongal menyatakan bahwa sebelum kedatangan Belanda yang membawa kopi Arabika, warga Takengen sudah mengenal tanaman kopi Robusta yang tumbuh liar dan tinggi. Warga hanya mengambil daun kopi Robusta liar kemudian memanggangnya di atas perapian kemudian diseduh air panas dan diminum bersama gula aren sebagai pemanisnya.
Kasim Aman Armia, seorang warga kampung Belang Gele, menyatakan bahwa kopi di Gayo sudah ada sebelum penjajah Belanda tiba di Dataran Tinggi Gayo. Biji kopi yang merupakan cikal bakal tanaman kopi di Gayo dibawa oleh seorang warga kampung Daling salah satu kampung yang ada di Kecamatan Bebesen yang biasa dipanggil dengan Aman Kawa. Aman Kawa membawa kopi dari Mekkah saat menunaikan ibadah haji, kemudian mulai menanamnya. Kopi Aman Kawa dari kampung Daling kemudian dikembangkan lagi oleh Aman Kupi, seorang penduduk Belang dan selanjutnya mulai menyebar ke berbagai tempat sebagai tanaman pembatas kebun atau rumah.
Kasim Aman Armia menambahkan lagi, perkebunan kopi yang dijalankan secara komersial di Belang Gele, dimulai ketika Belanda masuk ke Takengen. Pada tahun 1930, Belanda membuka perkebunan kopi Belang Gele setelah melakukan pemetaan dan menyimpulkan lokasi paling ideal untuk tanaman kopi adalah di Belang Gele dan Bergendal. Di Belang Gele Belanda bersama pekerja kebun dari Jawa membuka lahan seluas 125 hektar. Perkebunan Belanda di Belang Gele dinamakan perkebunan "Wilhelmina Belang Gele" yang ditulis pada bangunan perkebunan. Belanda juga membangun pabrik pengolahan kopi lengkap dengan rumah para pekerja yang berasal dari Jawa. Perumahan ini disebut Pondok, sementara perkebunan kopi Burni Bius dikelola oleh Jerman.
Sebagai hiburan bagi pekerja di perkebunan kopi, sebulan sekali Belanda mengadakan pertunjukan ketoprak. Sepanjang tahun 1930 hingga 1941, Belanda mengelola perkebunan kopi Belang Gele. Bapak Jamuri dan Supangat, warga kampung Arul Gele, keduanya adalah anak dari pekerja yang berasal dari Jawa mengatakan bahwa perkebunan kopi Belanda ada di Dataran Tinggi Gayo berlokasi pada beberapa titik yaitu Belang Gele, Burni Bius, Jamur Barat, dan Arul Gele. Pertanyaan pak Jumuri dan pak Supangat ini dikuatkan dengan adanya situs peninggalan Belanda berupa pemandian air panas di kampung Weh Porak (Kampung Weh Porak adalah pemekaran dari Burni Bius) yang terletak di Kecamatan Silih Nara. Menurut mereka, Redelong pada masa Belanda bukan untuk perkebunan kopi tapi perkebunan teh yang dikuatkan dengan masih adanya tanaman teh yang menjadi pagar kebun rakyat sampai saat ini.
Tanaman kopi (Coffea sp) adalah jenis spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh dapat mencapai tinggi 12 meter. Daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing, daun tumbuh berhadapan dengan batang, cabang dan ranting-ranting. Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur sekitar 2 tahun.
Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanoh Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap disini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder AfdellingNordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanoh Gayo (diketinggian 1.000-1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera Timur, kopi di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik. Tanaman tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan Tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo, tanaman teh dan lada telah lebih dahulu diperkenalkan. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul "Pepercultuur in Atjeh" menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Madagaskar dalam abad ke 7 atau abad ke 8 ke Tanah Aceh. Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial.

Urang Gayo sebelum kedatangan Belanda waktu itu hanya bersawah dan bercocok tanam lainnya. Belanda yang memulai investasinya memperkenalkan kopi, teh, alpukat, pinus dan terong Belanda (Agur dalam bahasa Gayo". Saat itu alpukat merupakan makanan mewah khusus bagi orang Belanda, jika terbukti ada masyarakat pribumi yang menanam akan ditindak, namun alpukat ternyata disukai anjing sehingga biji alpukat tumbuh dimana-mana, sehingga tidak bisa dikontrol oleh Belanda lagi.
Daerah Linge merupakan dataran tinggi di atas 1400 mdpl di atas permukaan laut sehingga tidak cocok untuk kopi namun bagus untuk ditanam pinus. Pinus di Linge ternyata menghasilkan getah Pinus terbaik di dunia. Pada tahun 1908 pertama kali Belanda memperkenalkan jenis kopi Arabika yang diintroduksi ke Takengen. Ditanam pertama kali di sebelah Utara Danau Laut Tawar yang disekitar Paya Tumpi. Kemudian Belanda mengembangkan kawasan perkebunan lainnya yang dikelola sebagai tanaman komersial yang hasilnya diekspor keluar negeri bersama tanaman sayur-sayuran seperti kentang, teh dan getah pinus mecusi (terpentin).
Selain di Paya Tumpi, Belanda juga memperkenalkan dan membuka perkebunan Kopi pertama seluas 100 Ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Dua tahun kemudian (1920) muncul perkampungan baru masyarakat Gayo disekitar perkebunan kopi milik Belanda dan pada tahun 1925-1930 perkebunan kopi tidak lagi menjadi milik pemerintah Belanda tetapi dalam rentang tahun itu masyarakat sudah mulai membuka lahan baru untuk perkebunan kopi milik rakyat. Pembukaan lahan baru itu didasari pada pengetahuan masyarakat yang diperoleh dari pengalaman bertetangga dengan perkebunan Belanda. Pada akhir tahun 1930 an empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele, yaitu kampunh Belang Gele, Paya Sawi, Atu Gajah dan Pantan Peseng.

Sumber: Buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar