Pada akhir abad ke-19 kebijakan
pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan penetrasi di bidang pertanian
terjadi di kampung-kampung Gayo. Warga kampung yang biasa hidup dari pertanian
tradisional di sawah maupun ladang mulai diperkenalkan dengan tanaman
perkebunan modern. Perkebunan kopi di Gayo dibangun menjelang akhir abad ke-19
sebagai bagian dari proyek perkebunan yang dikembangkan oleh pemerintah
kolonial Belanda di Sumatera Timur. Setidaknya sejak tahun 1910 Urang Gayo
mulai mengenal komoditas perkebunan sawit dan karet yang juga diperkenalkan
Belanda di Sumatera Timur, Aceh Utara dan Aceh Barat. Pada tahun 1926, pohon
Pinus yang tumbuh di wilayah Gayo mulai digarap juga oleh Belanda disusul
dengan pembukaan perkebunan teh pada tahun 1930 an. Industrialisasi di Gayo
semakin meningkat dengan pembangunan Jalan Raya Takengon-Bireun pada tahun
1914.
Kopi yang ada di Gayo sering
disebut sebagai Hidup dan Matinya Urang Gayo yang didalamnya banyak tersimpan
aspek seperti nilai-nilai.sejarah, ilmu pengetahuan, sosial budaya, bahkan
tersirat nilai harga diri Urang Gayo. Semua nilai-nilai yang tersimpan dalam
kopi banyak yang telah diketahui secara umum namun masih banyak juga yang masih
tersirat. Penggalian nilai-nilai yang ada dalam kopi akhir-akhir ini telah
mulai dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai pihak.
Nilai-nilai sejarah, sosial,
budaya bahkan tersirat nilai harga diri Urang Gayo, mulai digali dari berbagai
aspek, mulai cerita turun temurun dari masyarakat Gayo sampai dengan berbagai
literatur yang telah ditulis oleh banyak kalangan yang berkompeten dalam bidang
penulisan sampai buku terjemahan yang diterjemahkan dari buku-buku berbahasa
Belanda. Dalam buku C. Snouck Hurgronje, Gayo dan penduduknya dituliskan bahwa
"sangat mengherankan di Tanah Gayo. Di mana-mana kita jumpai batang kopi.
Dari mana asalnya kopi di Gayo seorang pun tidak ada yang tahu. Dan sepanjang
ingatan mereka (Urang Gayo), tidak seorang pun yang mengaku pernah menanam kopi.
Dahulu Urang Gayo menganggap tanaman ini adalah tanaman liar, orang mengambil
batang dan cabangnya hanya untuk pagar kebun semata. Buah kopi yang masak
dibiarkan begitu saja dimakan oleh burung, selanjutnya menurut mereka burung
tersebutlah yang menyebarkan bibit tanaman kopi di Gayo".
Ada kutipan yang sangat menarik
dari buku C. Snouck Hurgronnje, dalam buku tersebut dinyatakan bahwa Urang Gayo
sendiri tidak tahu, bahwa kopi itu.bisa diolah menjadi minuman segar, yang
mereka tahu hanya memanggang daunnya untuk dihadikan teh. Hanya pada
akhir-akhir ini, sebagian orang sudah mengetahui bahwa buah kopi yang sudah
dikupas dan dikeringkan hingga berwarna hijau bijinya bisa dikonsumsi dan
menghasilkan uang, tentu saja dalam jumlah yang sedikit. Beberapa Are (bambu) di
bawa ke Keude Susoh dan juga bagian utara Aceh.
Apa yang sudah dituliskan oleh
Snouck dalam bukunya mengenai Gayo, sama dengan yang diungkapkan oleh beberapa
Petue di Gayo seperti Syawaluddin, seorang warga kampung Bebesen, menyatakan
bahwa penduduk Takengen sudah mengenal kopi lokal yang disebutnya "Kupi
Kolak Ulung" (robusta) sebagai minuman. Daun kopi robusta ini dipanggang
kemudian dicampur air panas dan diminum dengan gula yang terbuat dari aren
(gule aren atau gule tampang). Pendapat serupa juga dikatakan oleh Abdullah
Mongal, warga kampung Mongal yang oleh warga disapa dengan sebutan Gecik Tue
Mongal. Abdullah Mongal menyatakan bahwa sebelum kedatangan Belanda yang
membawa kopi Arabika, warga Takengen sudah mengenal tanaman kopi Robusta yang
tumbuh liar dan tinggi. Warga hanya mengambil daun kopi Robusta liar kemudian
memanggangnya di atas perapian kemudian diseduh air panas dan diminum bersama
gula aren sebagai pemanisnya.
Kasim Aman Armia, seorang warga
kampung Belang Gele, menyatakan bahwa kopi di Gayo sudah ada sebelum penjajah
Belanda tiba di Dataran Tinggi Gayo. Biji kopi yang merupakan cikal bakal
tanaman kopi di Gayo dibawa oleh seorang warga kampung Daling salah satu
kampung yang ada di Kecamatan Bebesen yang biasa dipanggil dengan Aman Kawa.
Aman Kawa membawa kopi dari Mekkah saat menunaikan ibadah haji, kemudian mulai
menanamnya. Kopi Aman Kawa dari kampung Daling kemudian dikembangkan lagi oleh
Aman Kupi, seorang penduduk Belang dan selanjutnya mulai menyebar ke berbagai
tempat sebagai tanaman pembatas kebun atau rumah.
Kasim Aman Armia menambahkan
lagi, perkebunan kopi yang dijalankan secara komersial di Belang Gele, dimulai
ketika Belanda masuk ke Takengen. Pada tahun 1930, Belanda membuka perkebunan
kopi Belang Gele setelah melakukan pemetaan dan menyimpulkan lokasi paling
ideal untuk tanaman kopi adalah di Belang Gele dan Bergendal. Di Belang Gele
Belanda bersama pekerja kebun dari Jawa membuka lahan seluas 125 hektar.
Perkebunan Belanda di Belang Gele dinamakan perkebunan "Wilhelmina Belang
Gele" yang ditulis pada bangunan perkebunan. Belanda juga membangun pabrik
pengolahan kopi lengkap dengan rumah para pekerja yang berasal dari Jawa.
Perumahan ini disebut Pondok, sementara perkebunan kopi Burni Bius dikelola
oleh Jerman.
Sebagai hiburan bagi pekerja di
perkebunan kopi, sebulan sekali Belanda mengadakan pertunjukan ketoprak.
Sepanjang tahun 1930 hingga 1941, Belanda mengelola perkebunan kopi Belang
Gele. Bapak Jamuri dan Supangat, warga kampung Arul Gele, keduanya adalah anak
dari pekerja yang berasal dari Jawa mengatakan bahwa perkebunan kopi Belanda
ada di Dataran Tinggi Gayo berlokasi pada beberapa titik yaitu Belang Gele,
Burni Bius, Jamur Barat, dan Arul Gele. Pertanyaan pak Jumuri dan pak Supangat
ini dikuatkan dengan adanya situs peninggalan Belanda berupa pemandian air
panas di kampung Weh Porak (Kampung Weh Porak adalah pemekaran dari Burni Bius)
yang terletak di Kecamatan Silih Nara. Menurut mereka, Redelong pada masa
Belanda bukan untuk perkebunan kopi tapi perkebunan teh yang dikuatkan dengan
masih adanya tanaman teh yang menjadi pagar kebun rakyat sampai saat ini.
Tanaman kopi (Coffea sp) adalah
jenis spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan
genus Coffea. Tanaman ini tumbuhnya tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh
dapat mencapai tinggi 12 meter. Daunnya bulat telur dengan ujung agak
meruncing, daun tumbuh berhadapan dengan batang, cabang dan ranting-ranting.
Tanaman kopi umumnya akan mulai berbunga setelah berumur sekitar 2 tahun.
Kehadiran kekuasaan Belanda di
Tanoh Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya
pendatang-pendatang yang menetap disini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah
dijadikan Onder AfdellingNordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi
lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan
perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanoh Gayo (diketinggian 1.000-1.700 m
di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera
Timur, kopi di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik. Tanaman
tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan Tembakau Deli waktu itu
masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran
tinggi Gayo, tanaman teh dan lada telah lebih dahulu diperkenalkan. Menurut
ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul "Pepercultuur in
Atjeh" menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Madagaskar dalam abad
ke 7 atau abad ke 8 ke Tanah Aceh. Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat
perhatian serius dari pemerintah kolonial.
Urang Gayo sebelum kedatangan
Belanda waktu itu hanya bersawah dan bercocok tanam lainnya. Belanda yang
memulai investasinya memperkenalkan kopi, teh, alpukat, pinus dan terong
Belanda (Agur dalam bahasa Gayo". Saat itu alpukat merupakan makanan mewah
khusus bagi orang Belanda, jika terbukti ada masyarakat pribumi yang menanam
akan ditindak, namun alpukat ternyata disukai anjing sehingga biji alpukat
tumbuh dimana-mana, sehingga tidak bisa dikontrol oleh Belanda lagi.
Daerah Linge merupakan dataran
tinggi di atas 1400 mdpl di atas permukaan laut sehingga tidak cocok untuk kopi
namun bagus untuk ditanam pinus. Pinus di Linge ternyata menghasilkan getah
Pinus terbaik di dunia. Pada tahun 1908 pertama kali Belanda memperkenalkan
jenis kopi Arabika yang diintroduksi ke Takengen. Ditanam pertama kali di
sebelah Utara Danau Laut Tawar yang disekitar Paya Tumpi. Kemudian Belanda
mengembangkan kawasan perkebunan lainnya yang dikelola sebagai tanaman
komersial yang hasilnya diekspor keluar negeri bersama tanaman sayur-sayuran
seperti kentang, teh dan getah pinus mecusi (terpentin).
Selain di Paya Tumpi, Belanda
juga memperkenalkan dan membuka perkebunan Kopi pertama seluas 100 Ha pada
tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Bebesen, Aceh Tengah. Dua tahun kemudian (1920) muncul perkampungan baru
masyarakat Gayo disekitar perkebunan kopi milik Belanda dan pada tahun
1925-1930 perkebunan kopi tidak lagi menjadi milik pemerintah Belanda tetapi
dalam rentang tahun itu masyarakat sudah mulai membuka lahan baru untuk
perkebunan kopi milik rakyat. Pembukaan lahan baru itu didasari pada
pengetahuan masyarakat yang diperoleh dari pengalaman bertetangga dengan
perkebunan Belanda. Pada akhir tahun 1930 an empat buah kampung telah berdiri
di sekitar kebun Belanda di Belang Gele, yaitu kampunh Belang Gele, Paya Sawi,
Atu Gajah dan Pantan Peseng.
Sumber: Buku Kopi dan Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Gayo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar